Senin, 10 September 2012

"Tanah Surga… Katanya", Malaysia Itu yang Negeri Makmur. Indonesia gimana?

Seorang anak membawa Sang Saka Merah-Putih, potongan film.
Bobroknya sistem ekonomi di tapal batas divisualkan dengan warga yang lebih suka memegang ringgit. Tipisnya nasionalisme tecermin dari bocah-bocah berseragam putih merah yang gagal melukis Sang Saka. Menyangka lagu Koes Plus “Kolam Susu” yang mashyur di jiran sebagai lagu kebangsaan.

“MALAYSIA itu negeri yang makmur, Ayah!” seru Haris (Ence Bagus), putra Hasyim (Fuad Idris) yang baru pulang dari jiran.

Ia membawa tas baru untuk anaknya, Salman (Osa Aji Santoso) dan Salina (Tissa Biani). Rencananya, hendak membawa anak dan Hasyim tinggal di Serawak. Mendengar niat Haris, hati Hasyim teriris.

“Negeri kita juga negeri yang makmur, Ris,” tangkis Hasyim sembari menatap nisan atas nama istri. Haris bersikeras menyanggah asumsi kemakmuran Indonesia versi ayahnya. “Yang makmur itu Jakarta. Sementara kita ini tinggal di pelosok Kalimantan!”

Sebuah pembuka yang menusuk jantung. Dialog-dialog sindiran dilontar. Akhir debat panjang ini dramatis. Hasyim atas nama cinta Ibu Pertiwi mengayuh sampannya, menjauhi Haris. Gamang yang kencang dihanyutkannya di perairan nun tenang. Dramatisasi mencapai klimaks, tatkala Salina memilih pergi bersama ayahnya ke negara tetangga.

Herwin kemudian menghadirkan dua tokoh baru. Astuti (Astri Nurdin), guru sekolah dasar (SD) yang diperbantukan di perbatasan. Satu lagi, dokter Anwar (Ringgo Agus Rahman) yang merawat Hasyim saat penyakit jantungnya kambuh. Keberanian mengangkat isu nasionalisme di perbatasan membuat film ini tangguh dari aspek tema. Danial dalam menulis naskah terlihat menguasai isu yang diusung.

Bobroknya sistem ekonomi di tapal batas divisualkan dengan warga yang lebih suka memegang ringgit. Tipisnya nasionalisme tecermin dari bocah-bocah berseragam putih merah yang gagal melukis Sang Saka. Menyangka lagu Koes Plus “Kolam Susu” yang mashyur di jiran sebagai lagu kebangsaan.

Yang terlupa oleh Danial, cara yang santun melukiskan tetangga tercinta. Manifestasi Malaysia muncul dalam raut laki-laki berwajah Melayu sedang menyantap pisang. Atau istri Haris yang tambun, berambut keriting, gigi tidak rapi, dan dengan raut bengis menyuruh suami menyapu toko. Terlepas dari etika jiran mengklaim aset kita, Malaysia tidak sepenuhnya salah dalam karut-marut kondisi perbatasan.

Harus diakui, pemerintah melakukan langkah kura-kura dalam upaya percepatan pembangunan daerah perbatasan. Merdeka sejak 1945, negeri Zamrud Khatulistiwa baru membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan pada 2010, melalui Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2010.

Jangan sampai nasionalisme dalam film terasa membabi buta. Yang dilakukan Haris realistis. Ia ingin mengupayakan kemakmuran bagi keluarga mengingat wakil rakyat sibuk pilah-pilih apel Malang dan apel Washington. Danial dan Herwin masih bicara hitam putih. Masih mengandalkan slide by slide adegan kontradiksi ketika akhir film menjemput pertengahan.

Dramatic Scene: Biaya transportasi dari rumah Hasyim menuju rumah sakit, 200 ringgit Malaysia (sekitar 600 ribu rupiah). Itu baru berangkat. Belum termasuk biaya pulang dan obat. Dari hasil jerih lelahnya, Salman memberangkatkan kakek yang terserang jantung dengan perahu layar. Hasyim sekarat. Di tempat lain, Haris merayakan kemenangan tim sepak bola Malaysia yang menekuk skuad Garuda.

Pemain: Osa Aji Santoso, Fuad Idris, Ence Bagus, Astri Nurdin, Tissa Biani A, Ringgo Agus RSutradara: Herwin Novianto Penulis: Danial RifkiProduser: Deddy Mizwar, Gatot Brajamusti, Bustal NawawiProduksi: Citra Sinema, Brajamusti FilmsDurasi: 90 menit.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Inikah yang Anda Cari?

IBX5A420C98A853D